Surabaya – Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti meningkatnya kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi yang sering kali diabaikan oleh pihak kampus. Dalam pernyataannya, Puan menegaskan bahwa mayoritas korban adalah perempuan, dan pengabaian terhadap kasus ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Menanggapi pernyataan Ketua DPR, Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Universitas Airlangga (Unair), Prof Myrta Dyah Artaria menyambut baik perhatian Puan terhadap isu ini. Menurutnya, pernyataan Puan perlu disambut dengan positif.
“Jujur banyak Universitas yang menganggap ini masih belum menjadi prioritas untuk diperhatikan. Namun perlu dicatat juga, ada universitas lain yang sangat peduli. Kalau kasus masih tinggi itu bukan berarti negatif, karena artinya korban telah menyadari haknya,” ujar Prof Myrta, Rabu (18/9/2024).
Mengenai kasus-kasus yang baru bermunculan, Dosen Antropologi itu menyatakan kasus-kasus baru itu bisa saja sudah terjadi sejak lama tetapi korban baru mau melaporkan ketika dirinya merasa ada yang melindungi dan berada dalam kondisi yang aman.
“Justru di situlah letak pentingnya, bahwa saat ini peran satgas PPKS di perguruan tinggi telah diketahui para korban. Sehingga dukungan untuk satgas PPKS perlu untuk terus diberikan agar bisa membantu para korban. Arah kebijakan beberapa tahun ini sudah benar dalam mencegah dan menangani kasus-kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi,” terangnya.
Ia menambahkan bahwa banyaknya kasus yang bermunculan bukan berarti bahwa mekanisme penanganan kekerasan seksual di Kampus rendah. Justru sebaliknya, bisa saja kepercayaan terhadap Satgas PPKS semakin bertambah.
“Kalau banyaknya kasus itu mencerminkan rendahnya kesadaran masyarakat tentang apa itu kekerasan seksual, saya setuju dengan itu,” urainya.
Prof Myrta menyebutkan para Ketua Satgas PPKS di Indonesia telah tergabung dalam satu grup WA sehingga saling kontak, baik bertemu maupun berdiskusi bersama. Banyak Universitas yang peduli serta menindaklanjuti laporan dengan baik.
“Langkah konkrit seperti ini menurut saya tercermin dari bagaimana pimpinannya (terutama rektor) dalam memelihara keberadaan satgas PPKS. Ada aturan main dalam menjalankan peran satgas PPKS yang ditetapkan oleh PUSPEKA Kemdikbudristek,” terangnya.
Lebih lanjut, jika peran Satgas PPKS dilaksanakan dengan baik, didukung rektor, maka kinerja Satgas bisa semakin dipercaya oleh masyarakat kampus. Bahkan, tidak menutup kemungkinan akan ada semakin banyak laporan yang masuk ke Satgas untuk meminta bantuan.
“Tentu saja ini terkait dengan kelancaran pelaksanaan tugas, yang mana itu butuh dukungan dari pimpinan dalam hal dana (untuk membiayai psikolog) yang sangat dibutuhkan dalam penanganan kasus,” kata dia.
Terkait saran Puan agar kampus menambah CCTV, dia menjelaskan bahwa itu akan sangat membantu. Namun, pimpinan universitas bergantung pada anggaran yang telah ditetapkan sehingga penambahan ini menurutnya tidak bisa dilakukan secara langsung. Pasti butuh waktu.
“Harapan saya kepada DPR atau lembaga pendukung lainnya, mohon dapat ikut memfasilitasi ketika ada rancangan undang-undang yang bisa mendukung agar pelaku tidak bebas berkeliaran. Dan lebih penting lagi, ikut membantu memikirkan dan lebih baik lagi menyediakan dana pencegahan dan upaya ketidakberulangan,” tegasnya.
Dia menyampaikan bahwa Kekerasan Seksual (KS) yang terjadi di Unair sebagian besar karena berbagai faktor. Di antaranya latar belakang, sejarah hidup pelaku maupun korban, sehingga tidak bisa secara langsung menindak dengan tegas.
“Jadi ini bukan masalah simple ‘ada kejadian KS ayo kita sidang dan beri sanksi pelaku’. Kami perlu memikirkan penyebab seseorang akhirnya terlibat dalam kasus KS entah sebagai korban atau pelaku,” urai Guru Besar Antropologi FISIP Unair itu.
Dalam beberapa kasus, dia menjelaskan tidak bisa hanya dilihat dari kacamata hitam dan putih. Misalnya berkaitan dengan agama atau hanya berdasarkan perilaku korban belaka.
“Tidak sekadar dia kurang iman sehingga kena kasus KS (baik sebagai korban maupun pelaku), atau dia anak nakal lalu terlibat kasus KS,” katanya.
Myrta menegaskan akar masalahnya harus dipikirkan bersama dan perlu ada kebijakan-kebijakan yang lebih luas dan kepedulian yang lebih besar. Misalnya soal pendidikan karakter, di mana orang tua menyempatkan diri mendidik anak-anaknya dan memberi contoh yang baik, dan menanamkan moralitas sejak kecil.
“Bagaimana orang tua melakukan pendidikan tentang menanamkan percaya diri, asertif, dan bersikap adil, serta keseharian yang penuh kasih sayang agar anaknya kelak tidak menjadi korban predator seksual,” tegas dia.
Dia juga memaparkan soal payung hukum PPKS, perlu dilihat secara konteks luas. Idealnya, antara UU tersebut dan permendikbud nomor 30 tahun 2021 harus saling mengisi.
“Artinya, ketika terjadi pelanggaran di kampus, seharusnya ada sanksi akademik terhadap pelaku. Dan jika pelaku bukan dari lingkungan kampus, UU TPKS dapat membantu,” terangnya.
Peran baik UU dan Permendikbud itu, katanya, bergantung kepada setiap pihak yang menjalankan. Baginya, belum semua personel memahami esensi dari Permendikbud dan UU tersebut. Sehingga dalam pelaksanaannya di beberapa tempat masih dikatakan belum maksimal.
“Mengingat munculnya masih 2-3 tahun, hal seperti ini wajar, namun perlu upaya keras agar pemahaman ini semakin baik dan menyeluruh di masyarakat, khususnya di kampus-kampus, sehingga pada akhirnya kejadian KS (Kekerasan Seksual) di kampus-kampus dapat semakin menurun,” imbuhnya.
Di akhir, Prof Myrta telah memiliki anggapan positif bahwa arah kebijakan negara saat ini sudah menuju jalan yang benar. Dirinya juga berharap semoga semua pihak tetap istikamah terus mengupayakan agar bisa semakin baik.(Dia)