Surabaya – Pidato Presiden Prabowo Subianto yang mengusulkan Pilkada dipilih oleh DPRD di acara puncak Hari Ulang Tahun (HUT) ke-60 Partai Golkar ditanggapi serius oleh DPRD Jawa Timur.
Diketahui, dalam pidatonya Prabowo mengungkapkan bahwa biaya politik Pilkada sangat mahal. Sistem one man-one vote di Pilkada dinilainya sangat tidak efisien dan menelan banyak biaya.
“Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien, Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah DPRD itulah yang milih gubernur, milih bupati,” kata Prabowo di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Kamis 12 Desember 2024.
Anggota Komisi A DPRD Jawa Timur Freddy Poernomo mengatakan DPRD Jatim telah mengaspirasikan hal itu, tapatnya saat tahun 2018 dan komisi A masih diketuainya.
Freddy menjelaskan komisi A pernah berkirim surat ke Kemendagri dan pimpinan DPR RI dan Komisi II DPR RI terkait pemilihan gubernur yang sebaiknya dipilih oleh anggota DPRD.
Surat tersebut dikirimkan menindaklanjuti hasil penyelenggaraan Focus Group Discussion (FGD) tentang Forum Diskusi Kelompok Terfokus Membangun Budaya Politik Santun Berbasis Nilai-Nilai Pancasila Di Jawa Timur, Senin 5 Maret 2018 di Ruang Rapat Badan Musyawarah DPRD Provinsi Jawa Timur, dengan Keynote Speaker Gubernur Jawa Timur, Soekarwo.
Freddy mengatakan, banyak problem yang terjadi tatkala Pilgub dilakukan secara terbuka one man-one vote, dan tentunya menelan anggaran yang sangat besar dan berpotensi menjadi dalang perilaku koruptif. Pendapatnya ini salah satu poin yang dihasilkan dalam FGD tersebut.
“Penyelenggaraan sistem demokrasi liberal sangat mahal yang membawa implikasi pada hilangnya keteladanan karena para peserta harus mengeluarkan dana yang sangat besar yang setelahnya mengarah pada tindakan koruptif dan tindakan lain yang tidak terpuji,” kata Freddy, Jumat 13 Desember 2024.
Menurut Freddy, gubernur merupakan kepanjangan tangan dari pada pemerintah pusat, untuk melakukan pengawasan dan pembinaan pemerintah kabupaten/kota. Apalagi gubernur tidak memiliki wilayah otoritas.
“Karena Gubernur selain kepala daerah dan kepanjangan dari pemerintah pusat di daerah, tentu dalam hal pengawasan dan pembinaan pemerintahan Kabupaten/Kota, Gubernur juga tidak memiliki wilayah otoritas, maka Pilgub kembali dipilih DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota,” ujarnya.
Dari kesimpulan itu, lanjut Freddy, rekomendasi pertama, harus dilakukan kaji ulang terhadap sistem Pemilu yang berlangsung sejak refomasi 1998 sampai sekarang.
“Berdasarkan kajian ini, perlu dilakukan reformasi sistem Pemilu yang sekarang, dan seraya dengan itu, disusun suatu sistem Pemilu yang lebih sesuai dengan nilai-nilai dan spirit budaya bangsa Indonesia dan Pancasila,” pungkasnya.